Kamis, 21 Februari 2013

Dilema Pengobatan Psikiater : Takut Ketergantungan Obat


Pasien saya pernah bertanya pada saat sesi terapi dengan saya, apakah obat yang saya resepkan menyebabkan ketergantungan pada dirinya. Pasien mengatakan dia tidak mau makan obat terus menerus dan dia tidak mau ketergantungan obat.
Saya mencoba untuk memberikan pemahaman tentang masalah ketergantungan obat yang sering salah dipahami pasien dan dianggap pasien-pasien saya adalah suatu hal yang menakutkan bahkan membuat mereka menjadi bertambah cemas saat mulai terapi.
Pertama kali saya mengatakan kepada pasien bahwa kebutuhan obat terkait dengan kondisi ketidakseimbangan di sistem otak yang terjadi pada pasien gangguan kecemasan merupakan bukan hal satu-satunya. Obat merupakan alat untuk memfasilitasi agar pekerjaan dalam menterapi otak itu menjadi lebih efektif dan cepat. Keseimbangan sistem otak bisa diperoleh juga oleh cara lain misalnya terapi kognitif atau secara umum disebut psikoterapi, terapi relaksasi, hipnoterapi dan meditasi. Itulah mengapa obat bukan satu-satunya terapi biasanya.
Dokter di awal terapi memberikan penjelasan mengapa obat diperlukan. Keperluan obat adalah suatu cara untuk memberikan keseimbangan dengan cara yang lebih cepat untuk sistem saraf otak. Itulah mengapa keterlibatan obat golongan benzodiazepine (anxiolityc) diminati karena cepatnya mengatasi kondisi ini. Hanya saja perlu diingat bahwa benzodiazepine memang tidak disarankan untuk diberikan dalam jangka waktu lama karena potensi toleransi dan reaksi putus obat yang bisa timbul terutama berkaitan dengan penggunaan obat benzodiazepine yang mempunyai kerja pendek .
Beberapa kepustakaan mencatat bahwa penggunaan antidepresan golongan SSRI dan SNRI saat ini memang lebih dikatakan aman dan punya tolerabilitas yang baik pada pasien dibandingkan dengan golongan antidepresan yang lama. Namun demikian efeknya yang lama dan perlu memakai beberapa lama agar mencapai keseimbangan dan perbaikan gejala membuat pasien kadang merasa malas menggunakanya lama-lama.
Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah bahwa pada beberapa kasus pasien pengobatan sering kali membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai suatu kondisi bebas gejala (remisi). Banyak kepustakaan mencatat untuk mencapai remisi pada pasien gangguan depresi misalnya, dibutuhkan pengobatan sampai minimal 6 bulan sejak lepas gejala. Di sana dikatakan tidak ada batasan maksimal penggunaan obat yang ada hanya minimal pengobatan. Di beberapa buku yang lain dikatakan untuk mengatasi Gangguan Kecemasan dibutuhkan pengobatan dengan antidepresan sampai minimal 12-18 bulan sejak lepas gejala agar mengurangi terjadinya relaps atau kekambuhan.
Inilah yang sering disalahartikan sebagai ketergantungan oleh pasien. Pasien merasa jika memakan obat selama itu artinya dia mengalami ketergantungan. Pasien tidak menyadari bahwa banyak gangguan medis lain yang tergantung kepada pengobatan seumur hidupnya seperti pasien yang mengalami darah tinggi, kencing manis dan gangguan jantung. Mereka bahkan harus terus makan obat selama hidupnya agar kestabilan fungsi tubuhnya tercapai.
Ketakutan akan ketergantungan ini sebenarnya berasal dari stigma pengobatan psikiatri yang masih meliputi pikiran pasien. Obat psikiatri dinilai sama dengan narkotika yang bisa menimbulkan ketergantungan. Saya pernah ditanyakan pasien ketika saat di tengah-tengah terapi beliau bertanya apakah dia ketergantungan dengan obat karena kalau melepaskan penggunaan obat saat ini gejalanya kembali timbul. Saat itu gejala pasien membaik sejak satu bulan pengobatan, rencana pengobatan saat itu dengan antidepresan berlangsung minimal 6 bulan.
Saya mengatakan bahwa pengobatan harus dituntaskan dulu. Gejala-gejala yang timbul kembali karena obat dihentikan bukan karena masalah ketergantungan yang timbul pada diri pasien. Itu disebabkan karena obat tersebut memang belum mampu menyeimbangkan kondisi otak pasien sehingga masih harus dibantu. Kata ketergantungan lebih cocok disematkan misalnya pada orang yang tadinya tidak merokok, lalu merokok kemudian tidak bisa lepas dari merokok karena kondisinya kalau lepas rokok menjadi tidak karuan. Itu juga yang terjadi pada pasien yang kecanduan heroin. Sedangkan obat psikiatri membantu pasien menjadi lebih baik, maka pemakaian obat ini yang membuat pasien menjadi lebih baik sebenarnya adalah sama dengan orang yang mengalami darah tinggi kemudian menjadi stabil tekanan darahnya karena makan obat antihipertensi.
Inilah yang perlu diperjelas maknanya dalam pengobatan pasien. Semoga tulisan singkat ini bisa mengubah pandangan yang salah tentang pengobatan psikiatri dan makna ketergantungan yang sering dipersepsikan tidak tepat. Semoga berguna.
Salam Sehat Jiwa

1 komentar:

  1. Dok, saya pernah ke psikiater, saat itu saya merasa sangat putus asa, cemas, dan jantung saya seperti mau copot. Sy putuskan ke psikiater karena dokter umum mengatakan saya baik2 saja.
    Saya memang memiliki masalah yg cukup menguras pikiran dan membuat saya seperti mau gila. Psikiater tsb hanya meminta saya bercerita (kali saya ingat2 banyakan dia yang cerita). Tidak ad pemeriksaan apapun pada sy. Beliau lantas meresepkan aprazolam dan sertraline pd saya. Saya konsumsi 4hari saja. Karena takut adiktif. Tapi 2hari setelah berenti, saya merasa lemas parah dan makin cemas.

    Yang ingin sy tanyakan dok,
    1. Benarkah pemeriksaan psikiatri seperti itu saja?
    2. Apakah mengkonsumsi aprazolam 0,25 mg x 2 dan 0,5 mg x 1 dalam sehari dalam wkt 4hr menimbulkan efek putus obat setelah berenti dikonsumsi? Kalo tidak mengapa saya merasa sangat lemas dan cemas ya dok?

    BalasHapus