Saya Akui Saya Sakit Jiwa!
Oleh : dr.Andri,SpKJ,FAPM (Psikiater)
Dalam praktek sehari-hari sering kali pasien yang datang
berkonsultasi pada akhir wawancara mengatakan “Jadi saya sakit jiwa bukan dok?”.
Pertanyaan yang sebenarnya mempunyai makna retorik karena memang tentunya ketika
memutuskan datang ke psikiater, pasien sedikit banyak telah memahami ada
masalah dalam kejiwaannya. Namun mungkin lebih banyak pertanyaan ini diutarakan
karena pasien kebanyakan memahami yang dimaksud sakit jiwa itu adalah gangguan
jiwa berat seperti skizofrenia. Lebih gamblang lagi pasien banyak yang
menanyakan langsung “Apakah saya gila?”.
Stigma yang melekat pada gangguan jiwa memang tidak enteng. Pasien
rata-rata dalam banyak diskusi dan sesi konsultasi mengatakan bahwa ke
psikiater merupakan suatu hal yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Pasien
kebanyakan menolak ide untuk ke psikiater karena merasa tidak cocok
berkonsultasi masalah yang dihadapinya ke seorang dokter yang kebanyakan
dikenal orang mengobati orang dengan masalah gangguan jiwa berat. Apalagi jika
pasien mengalami masalah gangguan fisik sebagai manifestasi masalah psikis
(psikosomatik), pasien bisa bertanya-tanya dalam hati, apa keperluannya dirinya
berkonsultasi masalah fisik ke dokter jiwa.
Menerima diri apa
adanya
Penerimaan akan kondisi diri sendiri merupakan suatu langkah
yang sangat penting dalam proses terapi dengan psikiater. Pasien sering kali
merasa ragu dan malu bahkan mungkin takut menerima bahwa dirinya saat ini
membutuhkan bantuan seorang dokter jiwa. Banyak kesempatan pasien mengatakan
bahwa mereka tidak habis pikir mengapa mereka yang dulunya sehat walafiat,
bekerja dengan semangat dan penuh percaya diri, sekarang menjadi manusia yang
penuh ketakutan, kecemasan dan rendah diri. Mereka tidak bisa menerima
kehilangan dirinya yang dulu sehingga sering kita temukan pasien gangguan
kecemasan juga mengalami gejala-gejala depresi.
Baiknya dalam proses terapi pasien mampu dan mempunyai
kesadaran untuk menerima dirinya saat ini membutuhkan bantuan. Pasien juga
perlu menerima bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah suatu hal yang memang
bisa terjadi pada semua orang. Sering pasien merasa dirinyalah yang paling
menderita dengan keluhannya sekarang. Pasien sering lupa bahwa gangguan jiwa
itu banyak diderita oleh banyak orang di dunia ini, tua muda, laki-laki dan
perempuan dari berbagai golongan dan status sosial yang beragam.
Kesulitan menerima diri dengan kondisi gangguan jiwa yang
dialami sebenarnya akan menyulitkan pasien untuk sembuh. Contohnya seorang yang
mengalami gangguan dan gejala-gejala fisik tapi tidak ditemukan dasar bermakna
secara organik akan kondisinya itu. Ketika dia belum bisa menerima dirinya itu
maka pasien akan terus berupaya melakukan pencarian pengobatan medis fisik yang
bertujuan untuk mencari tahu dasarnya. Saat disarankan untuk ke psikiater,
pasien akan menolak dengan tegas dan malah bisa tersinggung. Tidak heran dalam
praktek sehari-hari, tidak banyak juga dokter yang mau menyarankan pasiennya
untuk ke psikiater. Pemahaman tentang peran psikiater yang masih sempit ini
yang membuat pasien menjadi tersinggung jika disarankan ke psikiater.
Padahal proses penerimaan yang baik tentang kondisi dirinya
tersebut akan mampu membantu dalam proses terapi. Pasien akan bisa menerima
dirinya dan kondisinya, mau berupaya dengan semangat untuk mengatasi masalahnya
itu dan bisa memotivasi dirinya lebih baik. Jadi sebenarnya inti dalam
pengobatan psikiatri sebenarnya adalah diawali dengan kemapuan untuk menerima
diri apa adanya. Kalau memang sakit jiwa, mengapa harus malu mengakuinya? Salam
Sehat Jiwa.
Maukah kita mengakui bahwa kita sakit jiwa seperti kita mengakui kita suka Durian? |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar