Saya sudah melakukan praktek psikiatri selama lebih dari 10 tahun. Sejak dua tahun berpraktek tepatnya tahun 2010 saya memutuskan untuk mendalami psikosomatik. Psikosomatik adalah suatu kondisi psikologis yang dikaitkan dengan kondisi fisik. Pasien yang mengalami psikosomatik biasanya mengeluh lebih dominan gejala fisiknya padahal kondisi tersebut dikaitkan dengan keluhan psikologis atau masalah kejiwaan.
Beberapa penelitian pernah mencatat bahwa pasien di kalangan komunitas Asia lebih sering mengeluh gejala fisik sebagai tanda kondisi depresi. Walaupun hal ini juga banyak dibantah oleh penelitian lain yang mengatakan bahwa sebenarnya memang hampir semua populasi secara seimbang menyatakan keluhan gejala fisik terkait dengan depresi daripada gejala psikologis seperti sedih atau perasaan putus asa. Hal ini karena gejala fisik bisa lebih diterima masyarakat daripada kondisi psikologis. Contoh jika kita mengeluh kepada atasan kita karena tidak bisa masuk bekerja, maka atasan kita akan lebih percaya jika kita mengatakan sakit perut daripada merasa putus asa atau cemas berlebihan hari itu. Kondisi ini yang membuat masalah depresi sendiri terselubung dan tidak dideteksi segera di pelayanan primer bahkan di pelayanan sekunder spesialistik. Hal ini karena laporan gejala fisik terkait dengan depresi juga tidak dianggap sebagai gejala gangguan jiwa tetapi kebanyakan dokter mungkin akan lebih fokus melakukan terapi untuk gangguan fisiknya.
Di bawah ini ada lima kondisi gangguan fisik yang dikaitkan dengan gangguan depresi. Kondisi ini mungkin bisa terjadi pada orang tersebut tanpa orang tersebut mengeluhkan gejala psikologis tetapi bukan berarti dia tidak akan mengalami gangguan depresi.
1. Migrain
Lisa K. Mannix, MD, seorang ahli saraf yang berspesialisasi dalam pengobatan sakit kepala mengatakan 40 persen orang dengan migrain mengalami depresi . Migrain juga dianggap berkaitan dengan kecemasan. Sebuah studi tahun 2009 menunjukkan bahwa 11 persen mahasiswa di sebuah universitas yang menderita migrain juga mengalami satu atau lebih jenis gangguan mood, mulai dari depresi berat hingga gangguan panik.
2. Nyeri Sendi
Menurut sebuah penelitian, orang dengan fibromialgia 3 kali lebih mungkin untuk mengalami depresi berat daripada orang tanpa fibromialgia. Fibromialgia memang merupakan penyakit kronis di mana orang tersebut mengalami nyeri di berbagai titik di tubuhnya yang berlangsung menahun, mengganggu tidur dan menimbulkan penderitaan. Kasus fibromialgia memang lebih banyak dialami perempuan paruh baya di atas usia 40an. Penemuan menarik terkait dengan fibromialgia dan hubungan dengan depresi dikatakan bahwa kekakuan, peradangan, dan kerusakan tulang rawan sendi sebenarnya adalah gejala depresi yang juga sekaligus bisa menyebabkan penurunan mood.
3. Masalah Pencernaan
Adanya hubungan antara pencernaan dengan kondisi psikologis sudah diketahui sejak lama dan menjadi bahan penelitian banyak peneliti. Hubungan yang disebut aksis Otak dan Sistem Pencernaan (Brain-Gut Axis) ini menyebabkan banyak orang mengalami gangguan dispepsia fungsional, suatu kondisi gangguan pencernaan dimana tidak ditemukan adanya kelainan organik penyertanya. Pasien dengan gangguan dispepsia fungsional bisa mengeluh perih, kembung dan sulit buang air besar tetapi hasil gastroskopinya menunjukan normal bahkan pemeriksaan H.Pylori-nya juga.
Sistem saraf pencernaan kita sangat kompleks (diperkirakan memiliki 500 juta neuron) sehingga ilmuwan saraf sering menyebut sistem pencernaan lambung dan usus sebagai otak kedua. Faktanya sel-sel saraf di usus kita memproduksi 80 hingga 90 persen dari serotonin tubuh kita. Itu lebih dari yang dihasilkan otak kita. Serotonin adalah zat neurotransmitter di otak yang bertanggung jawab terhadap keseimbangan suasana perasaan manusia. Penelitian terbaru juga mengatakan bahwa beberapa gejala depresi dan kecemasan dapat dihilangkan dengan merawat usus dan memakan probiotik. Penelitian ini pernah disampaikan saat saya mengikuti acara World Congress of Psychiatry di Berlin tahun 2017.
Ahli saraf terkenal Dr. David Perlmutter menunjukkan dalam buku Grain Brain bahwa orang yang menderita gangguan mood juga cenderung peka terhadap gluten dan sebaliknya. Depresi ditemukan pada sebanyak 52 persen individu yang sensitif terhadap gluten.
4. Nyeri Dada
Menurut National Institute of Mental Health, 3 dari 20 orang Amerika dengan penyakit jantung mengalami depresi dibandingkan dengan rata-rata 1 dari 20 orang tanpa penyakit jantung. Pasien dengan penyakit jantung yang mengalami depresi cenderung memiliki lebih banyak gejala jantung daripada mereka yang tidak mengalami depresi. Sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Circulation menemukan bahwa orang-orang dengan gagal jantung yang mengalami depresi sedang atau berat memiliki risiko empat kali lipat untuk mengalami kematian dini dan dua kali lipat risiko dirawat di rumah sakit dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami depresi. Bahkan disebutkan orang dengan gejala depresi ringan memiliki hampir 60 persen peningkatan risiko kematian.
Studi terbaru menunjukkan bahwa seperti orang dengan penyakit jantung koroner yang memiliki risiko tinggi untuk mengalami depresi, mereka yang mengalami depresi juga berisiko mengalami penyakit jantung koroner. Depresi dan kecemasan mempengaruhi ritme jantung, meningkatkan tekanan darah, meningkatkan kadar insulin dan kolesterol, dan meningkatkan kadar hormon stres. Nyeri dada dan detak jantung yang cepat juga sering dikeluhkan oleh pasien dengan gejala kecemasan panik dan pasien depresi. Hal ini yang sering membuat pasien gangguan cemas panik sering kali datang ke IGD karena keluhan nyeri dadanya yang dikhawatirkan serangan jantung.
Lisa K. Mannix, MD, seorang ahli saraf yang berspesialisasi dalam pengobatan sakit kepala mengatakan 40 persen orang dengan migrain mengalami depresi . Migrain juga dianggap berkaitan dengan kecemasan. Sebuah studi tahun 2009 menunjukkan bahwa 11 persen mahasiswa di sebuah universitas yang menderita migrain juga mengalami satu atau lebih jenis gangguan mood, mulai dari depresi berat hingga gangguan panik.
2. Nyeri Sendi
Menurut sebuah penelitian, orang dengan fibromialgia 3 kali lebih mungkin untuk mengalami depresi berat daripada orang tanpa fibromialgia. Fibromialgia memang merupakan penyakit kronis di mana orang tersebut mengalami nyeri di berbagai titik di tubuhnya yang berlangsung menahun, mengganggu tidur dan menimbulkan penderitaan. Kasus fibromialgia memang lebih banyak dialami perempuan paruh baya di atas usia 40an. Penemuan menarik terkait dengan fibromialgia dan hubungan dengan depresi dikatakan bahwa kekakuan, peradangan, dan kerusakan tulang rawan sendi sebenarnya adalah gejala depresi yang juga sekaligus bisa menyebabkan penurunan mood.
3. Masalah Pencernaan
Adanya hubungan antara pencernaan dengan kondisi psikologis sudah diketahui sejak lama dan menjadi bahan penelitian banyak peneliti. Hubungan yang disebut aksis Otak dan Sistem Pencernaan (Brain-Gut Axis) ini menyebabkan banyak orang mengalami gangguan dispepsia fungsional, suatu kondisi gangguan pencernaan dimana tidak ditemukan adanya kelainan organik penyertanya. Pasien dengan gangguan dispepsia fungsional bisa mengeluh perih, kembung dan sulit buang air besar tetapi hasil gastroskopinya menunjukan normal bahkan pemeriksaan H.Pylori-nya juga.
Sistem saraf pencernaan kita sangat kompleks (diperkirakan memiliki 500 juta neuron) sehingga ilmuwan saraf sering menyebut sistem pencernaan lambung dan usus sebagai otak kedua. Faktanya sel-sel saraf di usus kita memproduksi 80 hingga 90 persen dari serotonin tubuh kita. Itu lebih dari yang dihasilkan otak kita. Serotonin adalah zat neurotransmitter di otak yang bertanggung jawab terhadap keseimbangan suasana perasaan manusia. Penelitian terbaru juga mengatakan bahwa beberapa gejala depresi dan kecemasan dapat dihilangkan dengan merawat usus dan memakan probiotik. Penelitian ini pernah disampaikan saat saya mengikuti acara World Congress of Psychiatry di Berlin tahun 2017.
Ahli saraf terkenal Dr. David Perlmutter menunjukkan dalam buku Grain Brain bahwa orang yang menderita gangguan mood juga cenderung peka terhadap gluten dan sebaliknya. Depresi ditemukan pada sebanyak 52 persen individu yang sensitif terhadap gluten.
4. Nyeri Dada
Menurut National Institute of Mental Health, 3 dari 20 orang Amerika dengan penyakit jantung mengalami depresi dibandingkan dengan rata-rata 1 dari 20 orang tanpa penyakit jantung. Pasien dengan penyakit jantung yang mengalami depresi cenderung memiliki lebih banyak gejala jantung daripada mereka yang tidak mengalami depresi. Sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Circulation menemukan bahwa orang-orang dengan gagal jantung yang mengalami depresi sedang atau berat memiliki risiko empat kali lipat untuk mengalami kematian dini dan dua kali lipat risiko dirawat di rumah sakit dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami depresi. Bahkan disebutkan orang dengan gejala depresi ringan memiliki hampir 60 persen peningkatan risiko kematian.
Studi terbaru menunjukkan bahwa seperti orang dengan penyakit jantung koroner yang memiliki risiko tinggi untuk mengalami depresi, mereka yang mengalami depresi juga berisiko mengalami penyakit jantung koroner. Depresi dan kecemasan mempengaruhi ritme jantung, meningkatkan tekanan darah, meningkatkan kadar insulin dan kolesterol, dan meningkatkan kadar hormon stres. Nyeri dada dan detak jantung yang cepat juga sering dikeluhkan oleh pasien dengan gejala kecemasan panik dan pasien depresi. Hal ini yang sering membuat pasien gangguan cemas panik sering kali datang ke IGD karena keluhan nyeri dadanya yang dikhawatirkan serangan jantung.
Kita tentunya perlu memahami kondisi seperti ini lebih baik agar tidak kehilangan kesempatan untuk melakukan terapi dini dan segera untuk kasus depresi yang mengedepankan gejala fisik sebagai keluhan utamanya. Bagi para praktisi kesehatan juga sangat perlu untuk memahami hal ini karena bisa saja pasien yang ditanganinya yang mengeluh gejala fisik yang berulang dan berganti-ganti tanpa perubahan berarti jika diobati sebenarnya mengalami gejala depresi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar